What A Day!

11 Juni 2020 rasanya merupakan hari dimana segala usaha, kerja keras, keringat, emosi, waktu, dan materi akhirnya terbayarkan. Tepat empat tahun lalu, perjalanan tersebut dimulai. Satu hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, dapat menuntut ilmu di salah satu kota besar di Indonesia. Mungkin terlihat sederhana, namun, hal tersebut menjadi hal besar bagi saya yang sebelumnya menghabiskan masa kecil hingga SMA di daerah pedesaan. Tidak banyak cerita menarik yang dapat saya bagikan, beberapa hanya sederhana, namun berharga. Layaknya mahasiswa normal lainnya, banyak hal yang umumnya terjadi dalam dunia perkuliahan selama empat tahun belakangan. Dinamika kehidupan kampus membentuk saya menjadi saya pada saat ini.

Akhir dari perjalanan itu dimulai ketika pengumuman mengenai sidang karya akhir mulai bermunculan melalui surat elektronik para mahasiswa. Saya belum mendapat giliran. Februari 2020, kala itu. Nahas, terjadi pandemi yang bermuara pada dirumahkannya seluruh kegiatan dan diharuskannya pemberlakuan karantina diri di rumah masing-masing. Mahasiswa yang belum mendapat giliran sidang harus menunggu hingga beberapa bulan ke depan bergantung kepada situasi dan kondisi yang terjadi.

Menyelesaikan studi di tengah pandemi yang terjadi pada awal tahun 2020 hingga pada saat saya menulis ini merupakan suatu hal yang tentunya tidaklah diharapkan. Tatkala Juni tiba, kondisi yang sedang diset oleh pemerintah dikenal dengan "New Normal", yakni melakukan keseharian normal dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan secara ketat. Protokol yang ditetapkan kampus hanya membolehkan beberapa mahasiswa yang mendapat giliran sidang dan dosen yang diplot sebagai penguji yang dapat berada di area kampus dalam satu hari.

Ketika saya masih menduduki bangku semester bawah, santer terdengar kabar bahwa menjelang hari penyidangan akhir hingga hari-H penyidangan pasti akan ada saja masalah-masalah unik yang terjadi. Ah, tentu saja saya tidak percaya, cenderung menggampangkan. Hingga akhirnya muncullah masalah tersebut menjelang hari penyidangan akhir saya. Penjadwalan sidang yang dikeluarkan oleh manajemen kampus menarik perhatian saya ketika menemukan satu nama dosen penguji yang cukup ditakuti di jurusan saya ambil (akuntansi), berada satu baris lurus dengan nama saya bersama dengan satu dosen lagi, yang berarti saya akan diuji oleh mereka. Bergegas saya menghubungi dosen pembimbing untuk mengabari  dan memastikan bahwa beliau dapat hadir menemani saya pada hari penyidangan nanti. "Saya tidak bisa, ada mengajar pada tanggal dan jam tersebut," merupakan jawaban yang saya dapatkan. Boom! pikiran saya meledak. Berada pada kondisi tersebut, entah mengapa saya merasa antara panik dan tak panik setelah mengingat pesan dosen pembimbing untuk menguasai latar belakang dan teori penelitian yang saya gunakan. Niscaya, sidang akan berjalan dengan baik. Sempat ciut dan berpikiran untuk mengalasankan pengunduran sidang karena tidak dapat hadirnya dosen pembimbing —dengan harapan dosen penguji akan diganti. Namun, terdapat catatan pengumuman dari kampus yang menuliskan bahwa "sidang akan tetap dilanjutkan walaupun dosen pembimbing berhalangan hadir". Sial. Tapi, jujur saja, kepanikan yang saya rasakan sebenarnya tidak memiliki dasar yang kuat, karena saya belum pernah diajar langsung oleh dosen penguji yang paling dihindari (selanjutnya kita sebut sebagai "DPPD") itu, saya hanya mendengar kabar dari orang sekitar tanpa pernah merasakan secara langsung.

Setelah meneguhkan hati —untuk merelakan dan menghadapi masalah tersebut— saya menyiapkan diri dan berbagai hal yang diperlukan nantinya. Sebenarnya, ada satu hal lagi yang menjadi penambah masalah, yakni ketidakkompatibelan laptop yang saya gunakan dengan aplikasi Mendeley (biasa digunakan untuk penyusunan referensi dan sitasi dalam karya ilmiah). Jika kalian sedang atau pernah menyusun karya ilmiah, pasti cukup familier dengan aplikasi ini. Hal tersebut harusnya tidak menjadi masalah lagi karena telah saya atasi dengan meminjam perangkat milik teman, hanya saja pada hari-H, ada satu dan lain hal yang pada akhirnya membatalkan proses peminjamannya.

Jadilah saya, yang tanpa ditemani dosen pembimbing; disidang oleh DPPD; dan tanpa perangkat yang mendukung. Dengan menerapkan prinsip YOLO (You Only Live Once) yang singkatnya dikenal sebagai "nekat", saya maju menghadapi sidang dengan menyiapkan antisipasi ketika ditanya mengenai perangkat yang tidak mendukung tersebut. Hari itu, siangnya, saya sempat berpapasan dengan dosen pembimbing yang tengah berada di ruangannya —selepas beliau menyidang mahasiswa lain pada pagi harinya.

Ruangan sidang masih sepi ketika saya tiba dan mulai menyiapkan presentasi, hanya ada sebotol hand sanitizer dan papan nama bertuliskan "dosen penguji 1", "dosen penguji 2", dan "dosen pembimbing" yang diset berjauhan sesuai protokol kesehatan, peserta sidang memang diperbolehkan masuk 15 menit lebih awal. Tempat duduk DPPD itu berada tepat di depan saya. "Mati saja aku," gumam saya. Ketika jarum jam menunjuk angka sepuluh, tibalah saat sidang dimulai. Dosen penguji berjalan menyusuri lorong menuju ruangan sidang tatkala saya tengah berlatih presentasi. Pintu dibuka, dan tebak apa? Dosen pembimbing saya hadir! Sepertinya beliau mengajar kelas online sembari menemani sidang saya, siang itu. Terima kasih, Tuhan. Dan tebak apa lagi? DPPD itu belum datang, sepertinya terlambat.

Sidang dibagi menjadi tiga sesi : presentasi, tanya jawab, dan pemutusan kelulusan. Sesi pertama segera dimulai tanpa menunggu sang dosen yang terlambat. Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu ruangan kembali dibuka. Masuklah sosok dosen yang tidak asing bagi saya —karena sewaktu berorganisasi di UKM Litbang dulu cukup sering berhubungan dengannya. Ternyata beliau menggantikan sang DPPD sebagai penguji! Terima kasih lagi, Tuhan. Berbekal dua energi positif itu, saya menyelesaikan sesi pertama dengan cukup baik, begitu pula sesi kedua. Selanjutnya, memasuki sesi ketiga, saya diminta menunggu di luar ruangan agar para dosen dapat berdiskusi perihal keputusan sidang. Lewat lima menit kemudian, dipanggillah kembali saya ke ruangan. Dinyatakan lulus tentunya. Tidak bersalaman dan mengambil potret dengan para dosen merupakan protokol yang ditetapkan pihak kampus. Sedih.

Syahdan, mengabari orang tua adalah hal yang saya segerakan setelah itu. Saya percaya, dibalik keberuntungan saya hari itu, sedikit banyak adalah karena doa mereka. Satu tahap lagi telah saya lewati untuk membahagiakan mereka. Terima kasih, Mami dan Bapak.

Dan, untuk salah satu orang yang namanya tertulis di kata pengantar,
"Hai, akhirnya aku menyelesaikan apa yang waktu itu banyak aku ceritakan, tumpahkan, dan keluhkan padamu! Terima kasih telah hadir dalam prosesnya. Sehat dan bahagia selalu, ya."

Entah pikiran saya sudah teracuni oleh konspirasi-konspirasi —karena seringnya membaca perihal tersebut. Saya rasa hari itu terjadi banyak sekali konspirasi, dan syukurlah merupakan konspirasi baik.

Saya selalu percaya, hidup kita terdiri dari gabungan konspirasi baik-buruk yang telah diset dengan seimbang. Ada hal baik yang dapat diambil dari kejadian buruk, pun ada hal buruk yang harus diwaspadai dari kejadian baik.

Jaga kesehatan, ya.

UKM Litbang, Lebih dari Sekadar Organisasi Bagian 2


Bus menghentikan laju di depan pintu masuk perusahaan. Kala itu, gelap telah menelan sebagian besar cakrawala. Syukurlah, pihak perusahaan menolerir keterlambatan kami. Acara berjalan sebagaimana terjadwal. Satu-satunya hal yang memenuhi pikiran saya ketika itu adalah bagaimana perjalanan pulang nantinya? Pukul berapa kami akan tiba nanti?

Jarum pendek mendekati angka tujuh tatkala kami berpamitan dan menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak perusahaan atas kemafhuman akan kondisi kami. Layar ponsel berhias estimasi waktu perjalanan dari Google maps kembali menjadi pusat perhatian saya selama perjalanan pulang. Dengan dirundung banyak ketidaktenangan, saya tetap berusaha terlihat tenang dan menenangkan teman-teman panitia lainnya. Begitulah memang seharusnya, menurut saya. Jam digital di ponsel saya tiba di angka 23.02 ketika bus hampir sampai di depan gedung kampus. Hampir tengah malam. Seraya menyiapkan permintaan maaf kepada seluruh peserta, saya menyadari bahwa sekarang ini saya tidak dapat bergantung kepada para senior lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Kini, saya lah yang menjadi tembok bagi teman-teman panitia dan merupakan orang nomor satu yang bertanggung jawab atas segala ketidaklancaran acara. Bergegas saya berjalan menuju tempat duduk paling depan. Sembari meminta pusat perhatian, saya berterima kasih sekaligus meminta maaf atas hal-hal yang telah terjadi di luar kuasa kami pada hari itu. Walaupun saya tahu, permintaan maaf tersebut rasanya tidak banyak berarti bagi para peserta yang terlanjur kecewa, setidaknya saya mengakui dan berusaha menjelaskan. Syukurlah, kami tiba di kampus dengan selamat. Para peserta pulang ke rumah masing-masing, begitupun kami, para panitia.

Menuju akhir tahun, kami kembali mengadakan acara kedua. Sebuah lomba debat yang menargetkan pesertanya kepada para pelajar SMA. Undangan dan proposal telah selesai dibuat dan siap disebar ke seluruh SMA di sekitar Jabotabek, dengan harapan dapat memenuhi kuota peserta sebanyak delapan tim. Namun, apa mau dikata, hanya tersisa waktu seminggu sebelum acara dimulai, namun kuota peserta tak kunjung terisi barang satu tim pun. Masalah tersebut cukup membuat saya dan teman-teman harus memutar otak untuk mengatasinya. Pilihannya hanya tiga: batalkan, tunda, atau meningkatkan promosi di waktu yang tersisa. Membatalkan acara tentu saja pilihan yang sangat berisiko, selain mencoreng reputasi UKM, tentu saja hal tersebut akan menjadi buah bibir. Pun menunda acara juga merupakan pilihan yang berisiko jika tidak diiringi dengan bertambahnya jumlah tim yang mendaftar. Meningkatkan promosi merupakan pilihan kami pada akhirnya, kerja keras teman-teman panitia tentu harus dihargai dengan berhasilnya acara yang mereka persiapkan. Perlahan namun pasti, usaha kami membuahkan hasil, satu per satu tim mulai mengisi kuota yang tersedia setelah kami menerapkan strategi yang telah disepakati bersama.

Satu minggu berlalu bagai peluru, pada 30 November 2019, acara telah siap dilaksanakan. Matahari yang perlahan meninggi turut mengiringi langkah para kesatria berbaju zirah khas SMA mereka masing-masing.

--Bersambung--

UKM Litbang, Lebih dari Sekadar Organisasi


Perjalanan dimulai tatkala meninggalkan kampung halaman saya, Jambi.
Selama kurang lebih empat belas tahun mengisi masa kecil di provinsi yang terletak di Pulau Sumatera tersebut, saya memutuskan untuk bertandang ke pulau seberang, Jawa, DKI Jakarta tepatnya.

Saya, yang sejak SMA memang menggilai berorganisasi pun berencana mengikuti organisasi ketika mengenyam pendidikan di perguruan tinggi kelak. UKM Litbang kemudian menjadi pelabuhan tempat saya menaruh jangkar selanjutnya. Dengan didasari rasa penasaran   pada UKM dan kakak cantik yang menawari saya   akhirnya saya mengikuti proses wawancara dengan para petinggi di UKM tersebut.

Singkatnya, wawancara dapat saya lewati dengan baik. Tebak apa?
Saya diterima!
Mendapat relasi baru merupakan salah satu hal yang menjadi tujuan saya. Namun, perbedaan kultur pergaulan membuat saya menjadi sulit beradaptasi. Pun sifat pemalu saya menjadi duet yang tepat sebagai komplemen. Sial.

Staf divisi adalah posisi yang saya duduki tatkala saya berada di tahun pertama. Dikepalai oleh seorang kepala divisi yang kritis membuat banyak ide-ide yang saya tawarkan, dipentalkan kembali    yang pada akhirnya membuat saya enggan menyatakan pendapat lagi. Sang kepala divisi mungkin menyadari hal tersebut dan syahdan mengeluarkan pernyataan berupa, "tidak semua ide dan pikiran kalian dapat saya terima, saya perlu memilah ide-ide yang realistis dan dapat diwujudkan. Tolong hal tersebut jangan membuat kalian berkecil hati dan jadi enggan memberi ide lagi." Kelak,  saat menduduki posisi yang lebih tinggi   saya mengerti maksud kalimat tersebut.

Pengalaman yang saya dapat di tahun pertama menjadikan saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan di tahun kedua. Diplot menjadi kepala divisi membuat saya akhirnya mengerti betapa sulitnya menampung ide-ide anggota yang terlampau "kreatif" dan menjelaskan dengan sehalus mungkin tanpa mengecilkan hati mereka. Oh ya, di tahun kedua kali ini, saya sudah lebih terbiasa untuk beradaptasi. 

Menjadi tim inti di dalam suatu organisasi memang memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Semakin tinggi hak yang didapat, semakin tinggi pula kewajiban harus dilaksanakan. Di tahun kedua, saya benar-benar merasakan apa yang dinamakan "menanggung kesalahan bersama-sama".

Sempat terbesit di kotak pikiran saya, perihal naik menjadi ketua di tahun ketiga saya nanti. Ah, yang benar saja. Saya belum cukup memadai dibanding kedua ketua sebelumnya. Saya urungkan niat tersebut. Di penghujung kepengurusan, seorang kawan meyakinkan saya. Bahwa saya adalah saya. Setiap orang punya gaya kepemimpinan dan caranya sendiri.

Dan, ya, nama lengkap saya pun pada akhirnya menghiasi setiap surat dan proposal di UKM Litbang pada tahun ketiga. Mengepalai banyak anggota merupakan hal yang telah saya lakukan semasa SMA, Ketua OSIS kala itu. Namun, sekarang sedikit berbeda. Bagi saya, cakupannya menjadi lebih besar. Tekanan dari atas dan bawah sukses membuat tidur saya menjadi semakin larut di masa-masa awal mempersiapkan acara tahunan untuk menyambut anggota baru. Syukurlah, saya memiliki seorang wakil kepala yang teramat sangat membantu saya. Saya tidak salah pilih.

Tekanan dan masalah tidak hanya muncul sekali saja. Tatkala mempersiapkan rapat program kerja untuk kedepannya, pun sang masalah turut hadir. Syukurlah, sekali lagi saya memiliki tim inti yang membantu saya dengan baik. Rapat kerja berakhir. berbagai acara dan program kerja yang telah kami rancang sedemikian rupa telah siap dijalankan.

Acara pertama, kunjungan perusahaan yang berlokasi di Sukabumi   cukup jauh dari lokasi kami. Segala sesuatu telah siap dieksekusi. Dikarenakan belum pernah menempuh perjalanan langsung menuju Sukabumi, saya mengiyakan waktu perjalanan yang dijadwalkan selama dua jam   dengan berbekal penghitung durasi di aplikasi Google maps. Matahari telah berada di atas kepala ketika kami berangkat menuju Sukabumi. Perlahan bus yang kami tunggangi pun melaju membelah angin.

Hujan mulai menyapu jalanan saat kami tiba di setengah perjalanan, ramainya pasar dan banyaknya truk-truk pengangkut galon air mineral pun turut menghambat laju kami. Menilik layar ponsel menjadi hal yang terus saya lakukan. Estimasi waktu yang tertera di Google maps menunjukkan sekitar satu jam lagi bus akan tiba di tujuan. Syukurlah! Namun, kenyataan berkata lain. Setelah lewat satu jam, bus tak kunjung tiba, masih berkutat di tengah hiruk pikuk ratusan kendaraan yang turut memenuhi jalan. Hal tersebut sukses menghilangkan mood saya. Seraya setengah panik, satu-satunya hal yang dapat saya lakukan   selain menilik Google maps   adalah berdoa untuk kelancaran acara ini.

  Bersambung